Minggu, 01 Desember 2013

Catatan Awal Desember (Tidak Penting Sama Sekali)

 Blog ini sudah lama terbengkalai selama beberapa bulan, dan saya tidak tahu harus memulai dari mana. Jadi, dengan amat sepele, saya menulis tentang keterbengkalaian blog saya ini sebagai kalimat pertama. Lalu, mungkin saya bisa membagi apa yang saya dapat siang tadi sampai, kira-kira, bakda maghrib atau bakda isya.
Jadi begini, ketika itu siang dan saya sedang membaca tulisan dari guru saya, AS Laksana, namanya. Jujur, saya belum bertemu langsung dengan itu orang. Niatnya, saya akan mewawancarai dia untuk memenuhi tugas mata kuliah saya. 
Kembali ke kalimat pertama; saya sedang membaca tulisan Sulak, panggilannya, dan saya tahu bahwa saat itu dia sedang galau, atau masygul, karena karyanya yang mutakhir, Murjangkung: Cinta  yang Dungu dan Hantu-Hantu, gagal menjadi pemenang dalam KLA (Khatulistiwa Literary Award) 2013, yang masuk dalam kategori prosa. 

Ternyata, kegagalan tersebut tidak selesai sampai di situ. Usut punya usut, AS Laksana, dengan daya berpikir kritisnya, lalu membuat status di facebooknya, yang menurut saya adalah status dimana dia mengungkapkan kekesalannya (kalian bisa lihat di halaman facebooknya). Lalu, munculah perdebatan tentang pemenang dalam penghargaan yang sudah diadakan selama tiga belas tahun tersebut. Linda Christanty, salah satu cerpenis yang pernah memenangkan KLA dua kali, kemudian mengemukakan pendapatnya tentang gagalnya AS Laksana melalui status di facebooknya:

: turut berduka untuk sastra Indonesia sedalam-dalamnya, karena karya AS Laksana "Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu" yang menjadi benteng terakhir sastra Indonesia bermutu di tahun ini tidak memenangkan Khatulistiwa Literary Award untuk kategori prosa. Hal ini juga menunjukkan bahwa para jurinya sama sekali tidak bermutu. Pilihan mereka untuk kategori prosa menunjukkan rendahnya selera mereka terhadap sastra, lemahnya pengetahuan mereka, dan kurangnya wawasan mereka.

Status dari Linda tersebut membuat kolom komentarnya penuh dengan pro dan kontra terhadap pemenang KLA kategori prosa, Leila S Chudori (Pulang). Entah itu dari penikmat sastra, kritikus, bahkan sampai sutradara sekaliber Joko Anwar (yang saat itu dia adalah hostnya) juga angkat suara mengenai status dari Linda tersebut. Saya sendiri jujur, juga kecewa mendengar bahwa Murjangkung gagal menjadi pemenang. Saya sudah membeli bukunya dan membacanya dalam waktu beberapa jam saja. Dan sekarang, saya juga masih betah membaca kumpulan cerpen yang saya nilai sebagai kumcer yang gendeng (ini sebuah pujian) tersebut. Sedangkan untuk novel Pulang, yang memenangkan KLA kategori prosa, belum saya baca. Jadi, demi menyeimbangkan apa yang ada di pikiran saya, saya tidak mau terburu-buru setuju dengan apa yang Linda tuliskan dalam statusnya itu. 
Saya lalu menilai bawha pro dan kontra dalam masalah seperti itu adalah hal yang wajar. Linda sendiri melihat adanya politik sastra dalam pemilihan pemenang novel Pulang milik Leila S Chudori. Penentuan pemilihan juri, yang ternyata ada salah satu dari juri tersebut adalah pubilihing dari novel yang memenangkan KLA tahun ini, sampai menilai selera juri terhadap karya sastra masih rendah. Beberapa poin itu mengingatkan saya pada acara penganugerahan Academy Award Oscar tahun kemarin, 2012. Dari dulu saya berpendapat begini; film yang bagus adalah film yang menang Oscar. Sampai sekarang kalimat itu masih saya pegang. Namun, untuk pemenang Oscar tahun 2012, saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa; apa saya harus menarik kalimat saya, atau saya musti menikmati film pemenang OScar dan mengatakan bahwa film itu memang layak menang karena memang film yang bagus dari berbagai sisi.
Di sini saya hanya mengemukakan  dalam dua kategori saja, yaitu film terbaik dan pemeran wanita utama terbaik. 
dalam film terbaik, Argo, yang disutradari oleh Ben Afflek, yang juga berperan sebagai tokoh utama, memenangkan piala tersebut. 
ARGO

 Saya mengetahui hal itu dan langsung mendownload filmnya beberapa waktu kemudian. Setelah itu, saya mengeluarkan kata tidak setuju terhadap Argo untuk menjadi pemenang Oscar. Entah selera saya yang tidak baik atau memang saya saat itu sedang mengantuk ketika menonton, saya tidak tahu secara pasti. Tapi yang jelas, Argo menurut saya jauh lebih buruk ketimbang film-film Affleck yang terdahulu, Gone Baby Gone, atau The Town. Bahkan saya tidak mengerti mengapa Argo bisa menjadi pemenang, padahal saya melihat pesaing-pesaing seperti Amour, Django Unchained, Zero Dark Thirty, Life of Pi, atau Lincoln, bisa mendapatkan peluang yang jauh lebih besar. (Saya sendiri saat itu berpihak ke Django Unchained atau Life of Pi yang menang)

Nah selanjutnya, yaitu pemenang untuk kategori pemeran wanita utama terbaik, jatuh ke tangan aktris muda, Jennifer Lawrence, yang saat itu dia menang karena berperan dalam film The Silver Lining Playbooks. 

Emmanuelle Riva
Jennifer Lawrence
Naoimi Watts
Jessica Chaistain


 Saya belum menonton filmnya sampai sekarang. tapi, ketika mengetahui bahwa dalam jejeran nominasi tersebut ada nama seperti Jessica Chaistain (Zero Dark Thirty), lalu ada nama Emmanuelle Riva (Amour) dan Naomi Watts (The Impossible), saya jadi agak mencurigai mengapa Jennifer bisa menang. apalagi saat saya menonton peran Emmanuelle Riva dalam Amour. Waduh, demi apapun, itu akting terbaik menurut saya yang pernah saya lihat, mengingatkan saya dengan aktor (saya lupa namanya) dalam film Tyrannosaur.



Sebagai penutup supaya tidak mlipir ke mana-mana tulisan ini, saya bisa mengambil asumsi bahwa mungkin setiap acara besar seperti dua acara tersebut (KLA dan Oscar) pasti akan menimbulkan pro dan kontra jika yang memenanginya jauh dari prediksi para penikmat dan juga kritikus. Saya tidak bisa apa-apa karena saya memang tidak begitu peduli terhadap siapa yang menang atau kalah, toh hidup ini memang selalu ada yang menang dan kalah. Jadi ya, bagaimana ya, saya bukan orang yang pintar dalam urusan seperti ini, saya cuma diberkati karena saya suka menonton film dan membaca apa saja, termasuk karya sastra. Jadi ya....?***


Jumat, 07 Juni 2013

PENYAKIT MURUNG DAN SERBA-TERAKHIR DALAM FIKSI INDONESIA

Tulisan ini tidak berhubungan sama sekali dengan catatan yang saya tulis atas cerpen Requiem Kunang-Kunang Agus Noor beberapa hari lalu. Namun memang benar bahwa kalimat pertama cerpen itu--Barangkali aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota—segera mengingatkan saya pada rasa penasaran yang sejauh ini laten di dalam benak dan tidak sempat tersampaikan: ialah kecenderungan serba-terakhir dalam fiksi kita.
Tentang kunang-kunang terakhir itu, saya kira memang hanya itu pilihannya. Kalau ia merasa akan menjadi kunang-kunang pertama, mungkin akan ada kesan bahwa ia takabur. Sementara menjadi kunang-kunang nomor dua atau nomor sembilan puluh tiga atau kunang-kunang pertengahan tentunya tidak memperkuat efek murung yang hendak dibangun.

Sejauh ini, saya tidak mengembangkan dugaan serius tentang kenapa kecenderungan melodramatik seperti itu cukup merajalela dalam fiksi kita. Anda boleh mengembangkan dugaan anda sendiri, misalnya bahwa hal itu dimaksudkan untuk membuat cerita betul-betul menyedihkan, atau itu adalah kecenderungan berlebihan yang muncul tanpa disadari oleh para penulis untuk membuat tokoh ceritanya terlunta-lunta, atau itu sebuah isyarat kepada para pembaca bahwa yang sedang mereka hadapi adalah cerita yang meyedihkan, karena itu mereka harus menyediakan saputangan untuk menyeka air mata yang bakal membanjir.

Berkat kunang-kunang terakhir Agus Noor itu, saya jadi ingat segala hal terakhir yang pernah saya baca, yakni penari terakhir, surat terakhir, saputangan terakhir, lagu terakhir, pesan terakhir, pidato terakhir lukisan terakhir--seolah-olah itu semua menjadi semacam duplikasi tak sadar atas adegan the last supper dalam biografi Yesus.

Di bawah ini adalah 30 judul cerpen (saya tidak mencantumkan nama para penulisnya untuk alasan yang sepenuhnya pribadi) yang dengan cepat saya temukan dengan memanfaatkan mesin pencari internet. Urutan-urutannya hanya berdasarkan kemunculan judul tersebut pada mesin pencari.


  1. Bunga Tabur Terakhir
  2. Malam Terakhir
  3. Penari Terakhir
  4. Hari Terakhir telah Tiba
  5. Lagu Terakhir untuk Paijo
  6. Nasihat Terakhir
  7. Alamat Terakhir
  8. Gedung Bioskop Terakhir
  9. Kelopak Mawar Terakhir
  10. Pesan Terakhir Ayahku untuk Ibu Rabinem dan Mas Gotri
  11. Perjalanan Terakhir
  12. Uang Terakhir
  13. Kisah Lirik Lagu Terakhir
  14. Nyanyian Terakhir
  15. Puisi Terakhir
  16. Festival Terakhir untuk Intan
  17. Secangkir Kopi di Senja Terakhir
  18. Bukan Hari Terakhir
  19. Kucing Hitam atau Parit Terakhir
  20. Air Mata Terakhir Bunda
  21. Kereta Api Terakhir
  22. Senja Terakhir
  23. Pelabuhan Terakhir
  24. Terminal Cinta Terakhir
  25. Dermaga Terakhir
  26. Senyuman Terakhir
  27. Hari Terakhir Mei Lan
  28. Anniversary Terakhir
  29. Ucapan Cinta Terakhir
  30. Ulang Tahun Terakhir

Tentu masih banyak judul melodramatik yang tidak tercantum di daftar ini. Silakan anda menambahkannya sendiri. Namun, sebanyak apa pun judul yang sudah dibuat orang dengan kata “terakhir”, anda tak perlu khawatir akan kehilangan peluang untuk menyalurkan dorongan melodramatik anda. Saya kira judul-judul di bawah ini belum digarap orang, yakni:

  1. Bebek Goreng Terakhir
  2. Tagihan Terakhir
  3. Konde Terakhir
  4. Kerbau Terakhir
  5. Tukang Pos Terakhir
  6. Penjual Gorengan Terakhir
  7. Status Fesbuk Terakhir
  8. Batu Akik Terakhir
  9. Firman Tuhan Terakhir
  10. Kisah Cinta tanpa Huruf Terakhir
  11. Pengamen Terakhir
  12. Tukang Copet Terakhir
  13. Pesan Kuli Bangunan kepada Istrinya pada Malam Purnama Terakhir
  14. Pidato Terakhir Si Muka Nanas
  15. Seorang Petinju yang KO di Ronde Terakhir
  16. Fotokopi Ijazah Terakhir

Maka, yakinlah, selalu ada peluang untuk menulis melodrama. Dan setiap kali anda berniat murung, pergunakan kosakata terakhir, entah sebagai judul atau sebagai deskripsi tentang tokoh utama anda.

Salam,
A.S. Laksana


sumber : as-laksana.blogspot.com/2012/05/penyakit-murung-dan-serba-terakhir.html

Senin, 03 Juni 2013

Jangan Baca Tulisan Ini, Karena Tidak Bermanfaat

Oke, saya harus mulai darimana?

Sekarang bulan Juni, tepatnya Juni di tanggal muda. Karena berhubungan, akhir-akhir ini mungkin lagi banyak orang-orang yang akan menggelar resepsi yang macam-macam; nikahan, khitan, dll. Aji mumpung, uang masih di kantong dan rekening. Kenapa tidak dihambur-hamburkan saja? Toh, uang itu juga berputar kembali ke siklusnya.
Saya sendiri bukanlah anggota dari orang-orang itu, tapi percayalah, sebentar lagi saya juga bakal ambil bagian. Entah itu lima tahun atau sepuluh tahun ke depan.
Yang menjadi bagian dari saya sekarang adalah jadwal kuliah saya yang renggang, tapi tugas bertumpukan. Mulai dari tugas ini, itu, sana, sini. dan pada endingnya, saya musti dihadapi pada sebuah peristiwa yang dinamai UAS di kampus saya.

Sedikit bererita, pengalaman semester lalu saya tentang akhir semester mungkin sama dengan apa yang dirasakan oleh sebagian teman-teman. Jika hari itu datang, kopi siap di seduh, rokok siap di sulut, mata juga harus rela merem-melek cuma buat belajar dan belajar, baca buku ini, buka catatan itu. Itu memang ada betulnya dan saya juga melakukan itu semua ketika pertama masuk tanggal di akhir semester. Tapi belakangan saya menjadi bertolak belakang. Artinya, entah karena apa, sekarang tidur saya makin lama makin nggak nyenyak, atau sering nguap di pagi hari, yang dimana seharusnya orang-orang pasti masih dalam keadaan sehat, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tunggu dulu,......###

Selasa, 25 Desember 2012

Ed Gein: Inspirasi Para Psikopat Dunia Fiksi


Mungkin beberapa kalangan ga tahu sama nih orang, atau juga mungkin sebagian orang ada  yang tahu, bahkan ngefans -kalo bisa dibilang begitu- sama orang yang hobinya memutilasi wanita ini.
Ya. Sedikit menelisik ke abad dua puluh, tepatnya tahun 1945-an. Kalo kita hidup di Amerika, tepatnya di Plainfield, Winconsin. Mungkin di sana sedang  gempar-gemparnya dengan orang yang satu ini. Bagaimana enggak, lelaki dengan nama lengkap Edward Theodore Gein ini telah membunuh belasan wanita dan memutilasinya, lalu potongan-potongan tubuhnya di simpan di dalam rumahnya. Sebagian dari mayatnya merupakan mayat yang sudah meninggal terlebih dahulu. Jadi dalam artian, Ed -nama kecilnya- hanya menculik mayat itu ketika sudah dimakamkan, lalu dicuri beberapa jam kemudian dan dimutilasi. Tapi ada satu mayat yang dibunuhnya dengan pistol/senapan tipe 22 caliber. Namanya Bernice Worden. Ia ditemukan tergantung dengan posisi badan terbalik (kaki di kepala, kepala di kaki), bagian kelamin hingga dadanya telah disayat, dan kepalanya hilang (kemungkinan besar kepala mayat-mayat Ed (termasuk Bernice Worden) telah dijadikan asesoris. Posisi seperti ini seperti posisi hewan qurban yang hendak dikuliti. 


GILA? Ya. Mungkin sebagian dari kalian yang baca ini, bakalan bilang ini gila. Gimana enggak, abad duapuluh ternyata udah ada orang yang membunuh dengan cara sadis seperti ini. Sebelumnya, alasan mengapa Ed membunuh dan memutilasi, karena ia selalu hidup kesepian ketika keluarganya meninggal satu per satu. Dan mengapa ia membunuh dan memutilasi wanita, bukannya lelaki? Ini dia. Banyak orang mengatakan kalo Ed merupakan tipe pecandu seks dengan mayat (istilah Necrophillia). Dengan mayat? Kegilaan lainnya. Ga bisa dipungkiri, Ed sudah hidup sebatang kara dan ia belum pernah merasakan yang namanya seks secara langsung. Alasan lain menyebutkan bahwa ia membunuh karena Ed sangat mencintai mendiang ibunya yang meninggal akibat strooke. Ia membunuh dan memutilasi mayatnya. Lalu mayat itu diambil wajahnya dan dijadikan hiasan di rumahnya. Mungkin dengan wajah-wajah itu, Ed bisa selalu mengenang ibunya. Tak ada yang tahu, sampai ia ditangkap pada tahun 1957.

Lalu. Apa kaitan kehidupan bejad bin bengis Ed Gein dengan para tokoh psikopat dunia fiksi? Tentu ada. Tahu LeatherFace dalam Texas Chainsaw Massacre dengan gergaji mesinnya? Atau Norman Bates dalam Psycho garapan Alfred Hitchcock? Mungkin Jame Gumb dalam film The Silence of The Lamb? Ya semua tokoh antagonis itu merupakan penjelmaan dari diri Ed Gein yang diwujudkan dalam dunia fiksi.


 1. Leatherface




Tokoh psikopat/maniak dalam serial Texas Chainsaw Massacre ini terkenal karena ia selalu menggunakan gergaji mesin dalam modus operandinya. Setelah dibunuh, satu per satu korbannya diambil wajahnya lalu digunakan sebagai topeng. Itu semua hampir mirip dengan Ed Gein. Ed Gein selalu mengambil wajah para korbannya setelah dibunuh. Fucking Disgusting!!


2. Norman Bates

Tak perlu waktu lama untuk memutar kembali bagaimana Ed Gein melakukan aksi bengisnya. Tahun 1960 (tiga tahun setelah Ed Gein dipenjara), Alfred Hitchcock mencoba peruntungannya dengan karyanya yang fenomenal: Psycho. Tokoh Norman Bates digadang-gadang adalah tokoh fiksi yang terinspirasi dari Ed Gein sendiri. Norman Bates mempunyai kesamaan dengan Ed Gein, yaitu sama-sama mencintai ibunya dan membunuh demi mengenang ibu tercinta. Film Psycho sendiri diangkat dari novel yang berjudul sama garapan Robert Bloch



3. Jame Gumb/Buffalo Bill

Karakter dari film The Silence of The Lambs yang terakhir ini merupakan karakter dengan tokoh inspirasi pembunuh paling banyak. Selain terinspirasi Ed Gein, Jame Gumb ternyata juga terinspirasi dari lima tokoh pembunuh lainnya. 

1. Ted Bundy, sudah membunuh lebih dari 20 orang di Utah, Washington, Oregon dan Corolado. Sempat kabur ketika dipenjara selama beberapa tahun.

2. Jerry Brudos, terkeal karena selalu mendandani para korbannya setelah dibunuh. Tak diketahui jumlah korbannya

3. Gary M.Heidnik, memperkosa enam perempuan dalam rentang waktu satu tahun

4. Edmund Kemper, pembunuh yang pertama kali membunuh keluarganya sendiri. Masih hidup sampai saat ini

5.Gary Ridgway, sudah membunuh hampir limapuluh orang, semuanya perempuan. Masih hidup sampai saat ini

Tokoh fiksi ternyata bukan sembarang hasil pemikiran manusia sendiri. Tokoh-tokoh itu muncul karena suatu kejadian nyata dan dikembangkan lagi menjadi lebih kompleks. 

Kalimat terakhir : INI BUKAN CURHAT, HANYA SEKADAR BERCERITA

Wassalam!

soember: wikipedia.com



Selasa, 04 Desember 2012

Haji Syiah (Koran Tempo, 8 April 2012)

HAJI SYIAH
Ben Sohib


KAMPUNG Melayu Pulo tentulah bukan satu-satunya kampung di Jakarta yang dipenuhi haji dan pemabuk sekaligus. Tapi sangat mungkin hanya di sinilah dua pemuda mabuk dan seorang haji bisa duduk di balai-balai yang sama dalam sebuah majelis taklim. Sesungguhnya kata ini tak tepat menggambarkan kegiatan yang sebenarnya. Sebab, meski sesekali Sang Haji menyampaikan khotbah dan membahas hikmah, majelis itu lebih sering menjadi ajang bincang santai tentang banyak hal, tempat orang bertukar kata dan canda hingga larut malam. Tapi, sampai akhir kisah ini nanti, kegiatan itu akan tetap disebut demikian semata-mata demi memudahkan penceritaan.
Siapa saja yang sempat berjalan menyusuri kampung kami pada suatu siang yang cerah akan segera mafhum permukiman ini benar-benar dipenuhi haji. Begitu menyelesaikan langkahnya yang pertama, kemungkinan besar ia akan bertemu seorang haji yang sedang duduk di teras rumahnya, disusul dengan haji yang sedang berdiri membetulkan gulungan sarungnya pada langkah kedua, dan haji yang sedang berjalan sambil membuka peci putih dan menggaruk-garuk kepalanya pada langkah ketiga. Jika sedang beruntung, pada langkahnya yang keempat atau kelima, ia akan memergoki seorang haji sedang mencubit pinggul perempuan penjual gado-gado di dekat tikungan.
Menjelang senja, para haji itu akan terlihat berjalan––baik sendiri-sendiri maupun berombongan––menuju Musala Assalam untuk salat Magrib berjamaah. Seusai salat dan berdoa barang lima atau sepuluh menit, mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan Haji Syiah. Setelah salat Isya dan makan malam, para haji itu akan menguap berkali-kali sebelum akhirnya jatuh tertidur dan mendengkur dalam balutan sarungnya. Kecuali Haji Syiah.
Haji Syiah akan duduk di balai-balai di teras rumahnya, menyambut tamu-tamu yang hampir setiap malam bertandang meramaikan majelis taklimnya, termasuk Faruk dan Ketel, sepasang sahabat yang selalu datang dalam keadaan mabuk. Haji Syiah tak pernah membeda-bedakan tamunya, yang mabuk dan yang sadar diperlakukan serupa: kopi hitam sama dituangkan, keripik singkong dan kacang kulit sama diangsurkan, rokok kretek sama disodorkan. Alhasil, majelis taklim yang dihadiri belasan anak muda itu selalu berlangsung hangat.
Demikianlah, berita bergabungnya Faruk dan Ketel dalam majelis taklim di rumah Haji Syiah dengan lekas tersiar ke banyak telinga di kampung ini, termasuk ke telinga Haji Jamil, seorang haji yang paling disegani. Tak membuang tempo, sehari setelah mendengar berita itu, Haji Jamil sudah menegur Haji Syiah. Bakda salat Magrib dan menuntaskan doa di Musala Assalam, di hadapan jamaah musala, ia angkat bicara.
“Kagak pantes, Ji, orang mabok ente kumpulin di rumah ente.”
“Ane bukan ngumpulin orang mabok, tapi ane kagak bakalan nolak siape aje yang bertamu ke rumah ane.Orang mabok juga ane terime. Mabok tuh urusan die sama Allah, yang penting kagak ganggu tetangge. Kalau maboknye brengsek, jangan kate di pekarangan rumah ane, di mane aje di pojok kampung ini bakalan ane hajar!” jawab Haji Syiah sambil mengacungkan tinjunya yang sebesar kepalan tangan anak kecil. Sama sekali tak menakutkan.
Meski sudah dibekap, mulut Haji Sakur tetap meletupkan suara tawa tertahan. Demikian pula mulut Haji Sahrudin, mulut Haji Rozak, dan mulut sekian haji lainnya. Haji Munip yang paling parah, belum sempat membekap mulut, suara tawanya sudah terlepas begitu saja. Siapa yang tak ingin tertawa melihat Haji Syiah sesumbar hendak menghajar pemuda mabuk?
Sudah masyhur cerita Haji Syiah pernah terjatuh gara-gara diterpa angin dari sebuah sepeda motor bebek yang melaju kencang. Saat itu ia sedang berdiri di pinggir jalan di depan rumahnya ketika sepeda motor bebek yang dikemudikan seorang remaja berandal melaju kencang. Angin yang ditimbulkan dari kencangnya laju sepeda motor itu membuat tubuh tipis Haji Syiah terputar 180 derajat, kehilangan keseimbangan, dan jatuh terduduk menghadap rumahnya. Haji Syiah cepat berdiri. Lalu, sambil tangan kirinya berkacak pinggang dan tangan kanannya mengacungkan tinju ke arah mana sepeda motor tadi melesat, Haji Syiah berteriak, “Bagus ente kagak nyerempet ane. Kalau sampe nyerempet, ane lipet ente jadi tiga!”
Mau melipat tubuh pengendara sepeda motor berandal jadi tiga? Diterpa anginnya saja jatuh terduduk, apalagi diserempet. Begitu kira-kira yang ada dalam pikiran ketua RT. Maka ia segera mengerahkan warga membuat polisi tidur dari campuran pasir dan semen, agar kejadian serupa tak terulang. Itulah cerita yang dapat menjelaskan mengapa ada polisi tidur melintang tepat di depan rumah Haji Syiah hingga sekarang. Entah siapa yang pertama kali mengarang riwayat itu.Tentu saja tak seorang pun memercayai peristiwa itu benar-benar pernah terjadi, bagaimana pun kurusnya Haji Syiah.Namun yang jelas, kisah itu tersebar dan telah menggaungkan gelak tawa ke seluruh kampung.
Maka tak mengherankan jika malam itu Haji Sakur, Haji Sahrudin, Haji Rozak, dan Haji Munip (dia yang paling parah) gagal menahan tawa melihat Haji Syiah mengacungkan tinju dan mengancam hendak menghajar orang. Mereka teringat kisah Haji Syiah jatuh terduduk.
 .
SELAMA lebih dari setahun Haji Syiah menerima Faruk dan Ketel di rumahnya, tak ada warga kampung ini yang imannya berkurang.Kehidupan berjalan seperti biasa, tidak ada yang kurang, tidak ada yang lebih. Dengan kata lain, selain Haji Jamil, tak ada warga yang menganggap perbuatan Haji Syiah itu tidak pantas. Justru, warga merasa senang.Sebab, sejak bergabung dalam majelis taklim Haji Syiah, Faruk dan Ketel tak pernah lagi membuat onar di kampung saat mereka mabuk.
Sebelumnya, di antara sekian banyak pemabuk di kampung ini, Faruk dan Ketel yang dikenal paling sering membuat perkara.Mereka tersohor sebagai peminum yang pantang pulang sebelum tumbang.Hampir setiap malam mereka membeli miras curah di Pisangan Lama, di belakang Stasiun Jatinegara.Konon, berdua mereka biasa menghabiskan sepuluh liter setiap malamnya. Pada satu liter pertama, mereka masih berbicara dengan “ane” dan “ente”, seperti biasa. Pada liter kedua, mereka berbincang-bincang dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dengan menggunakan “saya”dan “anda”. Pada liter ketiga, mereka berdebat hebat dalam bahasa Inggris, meski hanya setan dan mereka berdua sendiri yang paham artinya.Pada liter keempat dan seterusnya, mereka mulai berteriak-teriak keliling kampung.
Saat berteriak-teriak di tengah malam buta itulah, Haji Syiah yang sedang duduk sendirian di teras rumahnya, keluar menyongsong mereka.Ia menggulung sarungnya tinggi-tinggi, kemejanya yang tak dikancingkan memperlihatkan tonjolan tulang iga. Ia tak sempat memakai peci putihnya, membuat kepalanya yang hanya ditumbuhi sejumput uban itu berkilap-kilap ditimpa cahaya bulan.
“Ente berani besuare sekali lagi, ane putusin tenggorokan ente!”seru Haji Syiah.
Ia memasang kuda-kuda siap menyerang, kedua lutut kakinya agak ditekuk, tangan kanannya menadah seperti orang meminta sesuatu, tangan kirinya seperti hendak menopang kepala bagian belakang. Tak ada orang yang pernah mendengar Haji Syiah pandai bermain silat. Tapi, bahwa konon ia menguasai ilmu pedang ghoib, amalan yang sanggup merobohkan lawan dari jarak jauh, sempat sekian lama setengah dipercaya penduduk kampung kami––meski tak jelas siapa yang pertama kali merawikan kabar ini. Namun, kepercayaan yang hanya setengah itu pun rontok sama sekali saat kisah olok-olok tentang Haji Syiah jatuh terduduk akibat diterpa angin dari sebuah sepeda motor bebek yang melaju kencang, tersiar ke seantero kampung.
Meski begitu, melihat Haji Syiah dalam posisi siap menyerang disertai ancaman hendak memutus tenggorokan mereka, Faruk dan Ketel segera bereaksi.Mereka mengambil posisi siap tarung. Tapi, entah karena pengaruh alkohol atau karena belajar pada guru silat yang salah, kuda-kuda mereka terlihat aneh: kedua belah kaki dipentangkan lebar-lebar, kedua tangan diacungkan lurus ke depan.
Urusan kuda-kuda boleh menggelikan, tapi keadaan saat itu tetap saja menegangkan. Dalam keadaan mabuk berat, bukankah sangat mungkin seseorang akan melakukan hal-hal yang tak terduga? Benar saja! Faruk terlihat mulai meraba belakang pinggangnya, seperti mencari-cari sesuatu.Sebilah pisau?Sementara sahabatnya, Ketel, tetap dalam posisi semula. Tampaknya ia sedang berusaha keras menjaga keseimbangan tubuhnya. Haji Syiah kian waspada.
Tak mau ambil risiko, Haji Syiah mulai mengeluarkan ilmu pedang ghoib, mulutnya komat-kamit melafalkan doa. Diyakini, setelah doa itu dibaca tiga kali, lawan akan ambruk dan bertekuk lutut hanya dengan meniup mukanya. Maka, tak membuang waktu, setelah selesai membacanya tiga kali, Haji Syiah langsung meniup ke arah wajah kedua begundal itu dengan keras. Saat itulah gigi palsu Haji Syiah terlepas dari mulutnya. Gigi itu melayang dan jatuh di dekat kaki lawan-lawannya.Hening sejenak, malam seperti ikut menahan napas.
Faruk dan Ketel saling berpandangan. Tiba-tiba kedua pria mabuk itu tertawa hingga terbungkuk-bungkuk. Mereka terpingkal-pingkal sambil memegangi perut mereka.Faruk dan Ketel terus tertawa, makin lama makin tergelak, dan perut mereka menjadi kaku.Akhirnya, masih sambil terpingkal, mereka terjatuh dengan lutut tertekuk di hadapan Haji Syiah.
Faruk dan Ketel menciumi tangan Haji Syiah. Dengan susah payah mereka berusaha meminta ampun, baru setengah kata berhasil diucapkan, yang setengahnya lagi tertelan oleh tawa mereka, air mata mereka berlinangan. Untunglah, setelah Haji Syiah mengusap kepala mereka, tawa kedua pemabuk itu reda. Dan mereka terhindar dari kram perut yang dapat membahayakan jiwa.
Sejak kejadian itu, Faruk dan Ketel insyaf, tak pernah lagi membuat onar di kampung, meski masih tetap menghabiskan sepuluh liter miras curah setiap malamnya. Dan mereka menjadi anggota majelis taklim Haji Syiah yang paling setia. Bahkan, kedua pemabuk itu menjadi murid––jika bisa disebut demikian––kesayangan Haji Syiah.
Pasangan biang kerok Faruk dan Ketel yang berhenti membuat onar dan menjadi murid kesayangan Haji Syiah adalah fakta. Tapi, cerita tentang urut-urutan kejadian yang menjadi musabab berubahnya kedua pengacau itu––terutama pada bagian kuda-kuda yang ganjil dan gigi palsu yang terlepas––tak bisa dibuktikan kebenarannya mengingat kisah itu dirangkai berdasarkan penuturan Ucup Bodong, penjual kue pancong yang pada malam terjadinya peristiwa itu baru saja menutup warungnya. Ia mengaku mengintip seluruh kejadian itu dari balik warungnya. Faruk dan Ketel sendiri memilih bungkam setiap kali ditanya soal itu.Sementara kepada Haji Syiah, tentu tak ada orang yang sampai hati meminta kejelasan.
 .
HAJI Syiah berusia enam puluhan tahun. Nama aslinya Rohili.Ia dipanggil Haji Syiah bukan karena menganut mazhab ini. Tata cara ibadahnya tak pernah terlihat berbeda dari warga kampung lainnya. Kemungkinan terbesar, itu gara-gara ia memasang poster bergambar Ayatullah Khomeini di dinding ruang tamunya, bersebelahan dengan foto Habib Ali Kwitang. Konon, ketika ia baru pulang haji sekitar dua puluh tahun yang lalu, Haji Jamil berkunjung ke rumahnya. Pada kesempatan itulah Haji Jamil menasihati dan menganjurkan Haji Syiah menurunkan poster Sang Ayatullah.
“Ngapain ente pasang tu gambar? Die kan Syiah, beda ame kite,” itu yang dikatakan Haji Jamil sambil menunjuk poster Ayatullah Khomeini.
“Kagak ape-ape beda, ane demen aje ngeliat romannye,” Haji Syiah menjawab dengan tenang.
Maka sangat mungkin dari mulut Haji Jamillah panggilan Haji Syiah pertama kali berembus. Kemudian julukan itu menyebar ke seluruh penduduk kampung, dari mulut warga yang satu ke telinga warga yang lain. Meski tak ada orang yang berani memanggil “Haji Syiah” di hadapannya, tapi Sang Haji bukannya tak tahu di belakang dirinya orang-orang memanggil dengan cara demikian. Dan ia tak merasa keberatan.
Haji Syiah hanya hidup berdua dengan Nyak Mun, istrinya.Berdua, sudah lebih dari empat puluh tahun mereka dengan sabar dan ikhlas mengarungi lautan sepi kehidupan. Pada lima hingga sepuluh tahun pertama perkawinannya, mereka––terutama Haji Syiah––masih berharap hadirnya seorang anak (ia memimpikan anak lelaki) yang akan meramaikan suasana rumah. Namun, pada tahun-tahun selanjutnya, perlahan mereka mengubur mimpi itu, makin lama makin dalam.Entah pada tahun perkawinan yang ke berapa, akhirnya mereka menerima kenyataan sebagai pasangan suami-istri yang tak dikarunia anak.
“Tuhan kagak kasi,” selalu begitu jawaban Haji Syiah setiap kali ada yang bertanya berapa jumlah anaknya.Haji Syiah memang telah dengan ikhlas menerima takdirnya, tapi jauh di hati kecilnya, benih keinginan mempunyai keturunan tampaknya tak benar-benar mati terkubur.Benih itu tumbuh dan muncul dalam bentuk kecintaan kepada anak muda.Di tengah-tengah obrolan di majelis taklimnya, beberapa kali Haji Syiah pernah berkata, “Kalau dulu Tuhan kasi, udeh seumuran ente kali anak ane.”
Haji Syiah seperti melihat bayang-bayang anak lelaki impiannya pada anak-anak muda itu, yang mabuk sekalipun. Bahkan kepada yang mabuklah Haji Syiah makin merasa sayang.Ia memandang Faruk dan Ketel dengan mata kasih orangtua terhadap anaknya. Dengan cara sehalus mungkin, ia berusaha menarik kedua anak muda itu dari kubangan khomer, minuman keras yang menurutnya bisa merusak kesehatan dan masa depan mereka.
“Ente kalau minum yang kire-kire, jangan kelewatan. Kalau minum kagak pake takeran, ape enaknye? Lagian, mau sampe kapan ente begini? Tuhan sih kagak rugi ape-ape ente mau mabok saban hari, yang rugi ente sendiri, badan ente ancur, pikiran kusut. Ente musti pikirin masa depan ente,” nasihat Haji Syiah suatu kali.
Berbilang bulan setelah nasihat itu disampaikan, Faruk dan Ketel tetap datang ke rumah Haji Syiah dalam keadaan sempoyongan. Namun, benar belaka apa yang sering dikatakan orang, hidayah dari Tuhan bisa datang dengan cepat dan dari arah tak terduga. Siapa sangka, secepat itu Faruk dan Ketel berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda. Hanya sekitar tujuh bulan setelah berpamitan kepada Haji Syiah hendak bekerja mengelola warnet milik Ustad Jaiz di Pandeglang, Faruk dan Ketel muncul kembali di kampung ini dengan penampilan berbeda.Mereka mengenakan kemeja lengan panjang, celana panjang sebatas mata kaki, dan ada tanda hitam di jidatnya, tanda sering bersujud.Kumis mereka dicukur habis, sementara janggutnya dibiarkan tak tercukur.
Menurut kabar yang beredar di antara warga, selama di Pandeglang mereka giat mengikuti pengajian di pondok pesantren Ustad Jaiz, tak jauh dari warnet yang mereka kelola. Ustad Jaiz, yang masih terhitung sepupu dengan Faruk itu, membangun pondok pesantren dan beberapa unit usaha seperti warnet dan agen beras di Pandeglang sekitar setahun yang lalu, saat ia baru saja pulang setelah menyelesaikan kuliah ilmu syariah di Mekah. Kabarnya, beberapa hari lagi Faruk dan Ketel akan kembali ke Pandeglang untuk mengikuti program pesantren intensif selama enam bulan, sebelum keberangkatan mereka ke Mekah. Di kota suci itu––dengan beasiswa yang diperoleh lantaran hubungan baik Ustad Jaiz dengan sebuah lembaga dakwah di Arab Saudi––mereka akan memperdalam ilmu agama.
Tentu saja Haji Syiah gembira mendengar berita itu.Ia ingin sekali bertemu Faruk dan Ketel. Sudah lebih dari seminggu ia mendengar kedua anak muda itu pulang dari Pandeglang, tapi mereka belum juga datang berkunjung ke rumahnya. Haji Syiah akhirnya memang bertemu Faruk dan Ketel pada suatu sore, tepat sepuluh hari setelah kedatangan mereka. Secara tak sengaja, Haji Syiah berpapasan dengan mereka di depan toko kelontong Yong Put. Awalnya ia sempat tak mengenali, hanya setelah mata mereka bersitatap selama dua atau tiga detik, dengan gembira Haji Syiah berteriak,“Faruk! Ketel!”
Para pemilik nama itu tak menyahut. Mereka memalingkan muka dan meneruskan perjalanannya, segera setelah salah seorang dari mereka, yaitu si Faruk, sempat menyemburkan ludah ke tanah. Haji Syiah terdiam seribu bahasa. Ia menghentikan langkahnya selama beberapa masa, menatap punggung mereka hingga menghilang dari pandangan. Seribu pertanyaan berpusar di benaknya, ia tak mengerti ada apa dengan ini semua.
Seribu tanya itu masih terus berpusar hingga malam tiba, saat ia duduk sendirian di balai-balai di teras rumahnya. Mengapa Faruk dan Ketel berbuat demikian terhadap dirinya?Apakah karena sekarang mereka merasa terlahir kembali sebagai orang suci dan karenanya merasa jijik dengan masa lalunya yang penuh najis? Atau ada sebab lain? Haji Syiah tak menemukan jawaban apa-apa.
Tiba-tiba Haji Syiah merasa begitu lelah. Ia sandarkan kepalanya ke dinding, kedua matanya ia pejamkan. Saat membuka matanya kembali selang beberapa menit kemudian, samar-samar Haji Syiah seperti melihat Faruk dan Ketel membuka pagar halaman, berjalan sempoyongan melintasi pekarangan rumahnya. Haji Syiah mengusap mata. Malam begitu sepi.Angin berembus cukup kencang, merundukkan sebatang pohon belimbing yang tumbuh di situ. (*)

SUMBER : lakonhidup.wordpress.com