Minggu, 01 Desember 2013

Catatan Awal Desember (Tidak Penting Sama Sekali)

 Blog ini sudah lama terbengkalai selama beberapa bulan, dan saya tidak tahu harus memulai dari mana. Jadi, dengan amat sepele, saya menulis tentang keterbengkalaian blog saya ini sebagai kalimat pertama. Lalu, mungkin saya bisa membagi apa yang saya dapat siang tadi sampai, kira-kira, bakda maghrib atau bakda isya.
Jadi begini, ketika itu siang dan saya sedang membaca tulisan dari guru saya, AS Laksana, namanya. Jujur, saya belum bertemu langsung dengan itu orang. Niatnya, saya akan mewawancarai dia untuk memenuhi tugas mata kuliah saya. 
Kembali ke kalimat pertama; saya sedang membaca tulisan Sulak, panggilannya, dan saya tahu bahwa saat itu dia sedang galau, atau masygul, karena karyanya yang mutakhir, Murjangkung: Cinta  yang Dungu dan Hantu-Hantu, gagal menjadi pemenang dalam KLA (Khatulistiwa Literary Award) 2013, yang masuk dalam kategori prosa. 

Ternyata, kegagalan tersebut tidak selesai sampai di situ. Usut punya usut, AS Laksana, dengan daya berpikir kritisnya, lalu membuat status di facebooknya, yang menurut saya adalah status dimana dia mengungkapkan kekesalannya (kalian bisa lihat di halaman facebooknya). Lalu, munculah perdebatan tentang pemenang dalam penghargaan yang sudah diadakan selama tiga belas tahun tersebut. Linda Christanty, salah satu cerpenis yang pernah memenangkan KLA dua kali, kemudian mengemukakan pendapatnya tentang gagalnya AS Laksana melalui status di facebooknya:

: turut berduka untuk sastra Indonesia sedalam-dalamnya, karena karya AS Laksana "Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu" yang menjadi benteng terakhir sastra Indonesia bermutu di tahun ini tidak memenangkan Khatulistiwa Literary Award untuk kategori prosa. Hal ini juga menunjukkan bahwa para jurinya sama sekali tidak bermutu. Pilihan mereka untuk kategori prosa menunjukkan rendahnya selera mereka terhadap sastra, lemahnya pengetahuan mereka, dan kurangnya wawasan mereka.

Status dari Linda tersebut membuat kolom komentarnya penuh dengan pro dan kontra terhadap pemenang KLA kategori prosa, Leila S Chudori (Pulang). Entah itu dari penikmat sastra, kritikus, bahkan sampai sutradara sekaliber Joko Anwar (yang saat itu dia adalah hostnya) juga angkat suara mengenai status dari Linda tersebut. Saya sendiri jujur, juga kecewa mendengar bahwa Murjangkung gagal menjadi pemenang. Saya sudah membeli bukunya dan membacanya dalam waktu beberapa jam saja. Dan sekarang, saya juga masih betah membaca kumpulan cerpen yang saya nilai sebagai kumcer yang gendeng (ini sebuah pujian) tersebut. Sedangkan untuk novel Pulang, yang memenangkan KLA kategori prosa, belum saya baca. Jadi, demi menyeimbangkan apa yang ada di pikiran saya, saya tidak mau terburu-buru setuju dengan apa yang Linda tuliskan dalam statusnya itu. 
Saya lalu menilai bawha pro dan kontra dalam masalah seperti itu adalah hal yang wajar. Linda sendiri melihat adanya politik sastra dalam pemilihan pemenang novel Pulang milik Leila S Chudori. Penentuan pemilihan juri, yang ternyata ada salah satu dari juri tersebut adalah pubilihing dari novel yang memenangkan KLA tahun ini, sampai menilai selera juri terhadap karya sastra masih rendah. Beberapa poin itu mengingatkan saya pada acara penganugerahan Academy Award Oscar tahun kemarin, 2012. Dari dulu saya berpendapat begini; film yang bagus adalah film yang menang Oscar. Sampai sekarang kalimat itu masih saya pegang. Namun, untuk pemenang Oscar tahun 2012, saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa; apa saya harus menarik kalimat saya, atau saya musti menikmati film pemenang OScar dan mengatakan bahwa film itu memang layak menang karena memang film yang bagus dari berbagai sisi.
Di sini saya hanya mengemukakan  dalam dua kategori saja, yaitu film terbaik dan pemeran wanita utama terbaik. 
dalam film terbaik, Argo, yang disutradari oleh Ben Afflek, yang juga berperan sebagai tokoh utama, memenangkan piala tersebut. 
ARGO

 Saya mengetahui hal itu dan langsung mendownload filmnya beberapa waktu kemudian. Setelah itu, saya mengeluarkan kata tidak setuju terhadap Argo untuk menjadi pemenang Oscar. Entah selera saya yang tidak baik atau memang saya saat itu sedang mengantuk ketika menonton, saya tidak tahu secara pasti. Tapi yang jelas, Argo menurut saya jauh lebih buruk ketimbang film-film Affleck yang terdahulu, Gone Baby Gone, atau The Town. Bahkan saya tidak mengerti mengapa Argo bisa menjadi pemenang, padahal saya melihat pesaing-pesaing seperti Amour, Django Unchained, Zero Dark Thirty, Life of Pi, atau Lincoln, bisa mendapatkan peluang yang jauh lebih besar. (Saya sendiri saat itu berpihak ke Django Unchained atau Life of Pi yang menang)

Nah selanjutnya, yaitu pemenang untuk kategori pemeran wanita utama terbaik, jatuh ke tangan aktris muda, Jennifer Lawrence, yang saat itu dia menang karena berperan dalam film The Silver Lining Playbooks. 

Emmanuelle Riva
Jennifer Lawrence
Naoimi Watts
Jessica Chaistain


 Saya belum menonton filmnya sampai sekarang. tapi, ketika mengetahui bahwa dalam jejeran nominasi tersebut ada nama seperti Jessica Chaistain (Zero Dark Thirty), lalu ada nama Emmanuelle Riva (Amour) dan Naomi Watts (The Impossible), saya jadi agak mencurigai mengapa Jennifer bisa menang. apalagi saat saya menonton peran Emmanuelle Riva dalam Amour. Waduh, demi apapun, itu akting terbaik menurut saya yang pernah saya lihat, mengingatkan saya dengan aktor (saya lupa namanya) dalam film Tyrannosaur.



Sebagai penutup supaya tidak mlipir ke mana-mana tulisan ini, saya bisa mengambil asumsi bahwa mungkin setiap acara besar seperti dua acara tersebut (KLA dan Oscar) pasti akan menimbulkan pro dan kontra jika yang memenanginya jauh dari prediksi para penikmat dan juga kritikus. Saya tidak bisa apa-apa karena saya memang tidak begitu peduli terhadap siapa yang menang atau kalah, toh hidup ini memang selalu ada yang menang dan kalah. Jadi ya, bagaimana ya, saya bukan orang yang pintar dalam urusan seperti ini, saya cuma diberkati karena saya suka menonton film dan membaca apa saja, termasuk karya sastra. Jadi ya....?***