Qotir merebahkan
tubuhnya yang hanya berbobot 60 kg ke atas kasur berselimutkan sprei berwarna
putih dengan garis abu-abu. Warna sprei itu mengingatkan Qotir kembali ke masa
lalunya bersama Lela, mengenang masa-masa indahnya menjalin hubungan di usia
labil berpakaian seragam putih abu-abu. Qotir hanya tersenyum kecil. Pandangan
ke arah langit-langit rumahnya seakan memberikan arti tersendiri. Seekor cicak
yang kebetulan berada di tempat kejadian memasang wajah tanpa ekspresi . Ia
bertanya-tanya jauh di dalam hatinya
yang lebih kecil dari tubuhnya. “Apa yang ada dalam benak makhluk raksasa yang
memandangi dirinya itu?”. Ternyata cicak itu baru sadar bahwa ia dalam keadaan
tanpa busana. Cicak itu pun lari menuju ruangan lain selain ruangan kamar Qotir.
Sementara itu, Qotir masih tersenyum-senyum tanpa makna
Menjadi pasangan
yang setia merupakan impian setiap pasangan.Baik laki-laki atau wanita, baik
jantan atau betina, baik manusia atau hewan.Walaupun menurut Qotir, hanya
buayalah satu-satunya hewan yang paling setia. Itu di karenakan Qotir sering
melihat roti berbentuk buaya dalam
acara-acara pernikahan di keluarga besarnya. Kakek Qotir, Engkong Ali,
mengatakan bahwa lambang hewan buaya dalam media roti menunjukan kesungguhan
setiap pasangan dalam menjalin hubungan resmi di mata Tuhan. Itulah yang ingin
Qotir tunjukan. MENJADI PASANGAN YANG SETIA. Tetapi kini, kesetiaan itu
diambang krisis-krisis. Baik krisis kepercayaan, krisis akan suatu curiga, atau
bahkan krisis ingin mendua.
“Tir,Qotir,
makan malem dulu nyok! Nih emak udah masakin gulai kambing nih!” Teriak Bunaya,
Emak Qotir, dengan suara persis seperti bintang film zaman dahulu, Mpok Nori,
atau lebih tepatnya Emak Nori.
“Iye nyak!, ga
usah pake teriak juga kali, ntar putus tu pita suaranye !” Jawab Qotir yang
sedang menutup pintu kamarnya hendak menuju meja makan yang berada di
tengah-tengah ruang keluarga
“Elu nyumpahin
pita suare emak lu sendiri putus Tir? Durhake elu!”
Qotir hanya
diam. Kesunyian datang menghampiri seisi ruangan sejenak untuk menghangatkan
suasana makan malam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut pemuda kurus
berambut jarang itu. Qotir yang memasang muka muram langsung melahap santapan
yang ada di depannya. Nasi putih dengan lauk gulai kambing yang diatasnya
ditaburi bawang goreng tidak membuat Qotir merasa baikan. Tampang Qotir tetap
pada tahap awal ia duduk di kursinya. Bunaya sempat heran dengan sikap anak
sulungnya. Perasaan Bunaya, ia tidak membubui masakannya dengan serbuk yang ada
dalam pil, kapsul atau semacamnya yang bisa membuat orang terlihat ingin jatuh
pingsan. Sudah dari lima hari yang lalu, Bunaya melihat tampang Qotir seperti
ini, tidak biasanya Qotir bermuram durja lebih dari sehari. Tampang Qotir yang
terlihat bagaikan buruh yang baru saja di pecat oleh atasannya karena alasan tertentu,
membuat Bunaya ingin tahu apa sebab musabab Qotir terlihat seperti ini.
“Lu lagi ga enak
badan tir?” Tanya Bunaya sambil memegangi kening Qotir dengan membalikkan kedua
telapak tangannya.
“Aye kaga nape-nape
nyak, udah nyak ah Qotir pan lagi makan!”Qotir menjawab sambil menguyah nasi
yang masih berada dalam mulutnya.
“Nyak cuman mau
nge-cek doang barangkali lu kenape-nape, soalnya dari seminggu kemaren mukelu begitu mulu!. Nyak
khawatir ame lu. Ade perkare ape sih?” Bunaya kembali bertanya sambil
membetulkan posisi duduknya kearah yang lebih serius demi mendengarkan
penjelasan anak tercintanya.
“Kaga ade
ape-ape nyak, kaga ada yang perlu di khawatirin, Qotir baek-baek kok!”
“iye, iye nyak
tau lu baek-baek, badan lu sehat, tapi tampang lu itu tir. Ade ape sih tir? Hmmm….
Masalah lagi ye ama Lela?” Seperti seorang peramal ulung, Bunaya langsung bisa
menebak akar masalah yang ada dalam pikiran Qotir, meskipun ia melakukannya
secara tidak sengaja. Suasana tegang sesaat. Dua ikan Mas Koki yang berada di
dalam akuarium belakang meja makan mereka berdua, menahan nafasnya sambil
memandangi dua manusia yang berada di alam daratan dengan mata melotot dan
mulutnya yang tidak bisa diam, membuka dan menutup. Mereka tidak sabar menunggu
apa jawaban yang akan di lontarkan Qotir kepada Sang Peramal Ulung, Bunaya, emaknya
sendiri.
Qotir sedikit
terkejut sehingga ia menghentikan kunyahannya yang kesekian.Tapi suasana
kembali tenang, atau lebih nyatanya suasana tegang. Qotir tidak habis pikir, emaknya yang sudah
berusia kepala tiga itu bisa menebak
asal muasal kenapa ia memasang muka muram dari lima hari yang lalu.
Mendengar jawaban emaknya yang sedikit mengejutkan satu ruangan keluarga yang
pada momen itu hanya dihuni dua manusia, Ibu dan anak, Qotir sebagai pemegang
peran anak, tidak menjawab sepatah kata. Ia lebih memilih bungkam soal Lela,
apalagi kalau harus menceritakan kepada emaknya. Pasti nasihatnya, “Tenang,
jodoh ga bakalan kemana” atau seperti ini, “Cinta itu tidak memandang jarak,
ruang, rupa, bahkan kedudukan.”Tetapi dengan aksen Betawi pinggiran, dan seperti
biasa, nada ala Emak Nori
Sudah banyak
cerita tentang kekasih Qotir yang satu ini. Lela, anak tunggal dari seorang
ketua RW 08 Kampung Situ, Bapak Dayat, tidak lebih dari gadis seperti
gadis-gadis yang lainnya. Perempuan berdarah sunda-betawi ini mulai memancarkan
sinar kecantikannya ketika ia berusia 15 tahun, atau ketika ia mulai memasuki
masa-masa SMA. Para lelaki di kampungnya, mulai dari yang berhidung normal
sampai yang berhidung belang, dari yang berusia sebaya dengannya sampai yang
sudah berusia sama dengan usia NKRI, telah dipikat oleh kemolekan dan
kecantikan gadis Bapak Rukun Warga Kampung Situ ini. Ayahnya, yang dulu hanya
bekerja sebagai wiraswasta yang berpenghasilan tidak tetap, ikut merasakan
manfaatnya mempunyai gadis belia yang cantik nan jelita seperti Lela.
Popularitasnya sebagai warga Kampung Situ dari hari ke hari makin meningkat,
seperti data statistik kemiskinan di suatu negara antah berantah bernama
Indonesia. Pada pagi hari, siang hari, atau malam hari, ada saja orang yang
bertamu kerumahnya hanya demi bertemu dengan anaknya, Lela. Mereka bahkan ada
yang membawa bingkisan seperti kue-padahal bukan suasana lebaran-, sarung dari
Mekah,-bagi mereka yang baru pulang umroh atau haji-, dan sebagainya yang tidak
bisa di sebutkan karena barang-barang tersebut dijual kembali oleh ayahnya yang
berjiwa entrepreneurship sejati.
Bahkan pada suatu hari, ketika ketua RW yang lama sudah hampir habis masa
jabatannya karena umurnya yang sudah terlalu kematangan, banyak warga-terutama
para lelaki-, yang mencalonkan Bapak Dayat sebagai ketua RW yang baru untuk
memimpin kampung mereka, Kampung Situ.
Tentu saja kalau ditanya apa alasan mereka semua mencalonkan Bapak Dayat
sebagai ketua RW yang baru, pasti semua warga -terutama yang laki-laki- kompak
mempunyai alasan yang sama.
Memasuki usia ke
17 tahun, tepat pada usia transisi antara remaja menuju dewasa, Lela mulai
dikenal seluruh kampung. Ia mulai dincar oleh banyak laki-laki kaya dari
kampung lain untuk dijadikan aset berharga. Semua berlomba-lomba mengisi
kekosongan hati Lela dengan cara apapun. Tetapi anehnya, dari sekian banyak
pemuda bahkan sampai yang dulunya dibilang pemuda, Lela hanya tertarik oleh
satu pemuda saja. Pemuda yang satu sekolah dengannya di SMAN Baru Jakarta, pemuda
dengan pembawaan cuek, easy going,
dan sedikit apatis itu berambut jarang alias botak. Sikap kritisnya akan
sesuatu telah merobek hatinya dalam pandangan yang berbeda. Meskipun tidak tampan seperti artis-artis
zaman sekarang, Lela berani bertaruh bahwa ia tidak salah berpacaran dengan pemuda
yang hanya mempunyai berat 60 kg dan tinggi 179 cm. Pemuda yang bernama lengkap
Muhammad Qotir Makjub lah yang telah merebut kesempatan para pemuda lainnya dan
para veteran dari kampung-kampung lain yang ingin sekali menjelajahi kecantikan
alam dari seseorang bernama Lela.
Peristiwa awal
dari perjalanan kekasih ini bisa di bilang hebat. Bahkan salah satu murid yang
pada saat itu menjadi saksi penembakan Lela oleh Qotir, Japra, akan
mengadaptasikannya dalam sebuah novel yang Insya Allah akan terjual habis atau best seller ketika di terbitkan. Qotir
memang telah menyukai Lela ketika mereka berdua satu kelas pada saat kelas 11.
Buat Qotir sendiri, menjadikan Lela sebagai pendampingnya akan membuat dirinya
terkenal satu sekolah. Walaupun ini bertentangan dengan perwatakannya yang
apatis itu. Tapi apa boleh buat, pedang sudah dicabut, Qotir tinggal menentukan
kearah mana ia akan menusukkan pedangnya agar Lela jatuh terkulai lemas di
hadapannya. Dan disinilah awal peristiwa hebat itu terjadi. Dengan gagah berani
bak seorang Spartan yang akan melawan ratusan tentara Persia, Qotir mulai
menunjukan sisi lain dari kelebihannya. Bermodalkan bunga mawar yang hampir
layu karena di beli dengan harga murah, Qotir mulai menancapkan pedang gaib di
hati Lela dan seraya berkata “neng, mau
ga jadi pacar abang? Ntar kalo neng nerima, abang janji bakalan setia deh!”.Satu
kelas terdiam menahan tawa, air mata jenaka siap turun menuju daratan yang
berlapisi keramik tanpa muara. Mereka semua tidak bersorak kegirangan.Tidak
terpikir dalam otak mereka, Qotir menembak Lela tanpa rayuan atau basa-basi,
langsung ke intinya. Seakan terhipnotis dengan kata-kata pemuda botak itu, Lela
hanya mengatakan satu kata,-dan aneh
jika di bayangkan oleh seisi kelas dengan 39 murid didalamnya-, “YA!”. Itulah jawaban Lela kepada Qotir -entah dalam
keadaan sadar atau tidak ia menjawabnya. Lama kelamaan Qotir mulai merasakan
keganjilan, Mengapa mereka semua hanya
diam saja?.Semua kelas hening cukup lama ketika Qotir melakukan aksi yang
bisa dibilang nekat. Sino, Buyung, Entin, dan Rozak menutup mulut mereka dengan
buku tulis yang ada di depan meja mereka masing-masing sambil bersuara kecil
mencoba menahan tawa yang ingin keluar penasaran. Kodir bisa di bilang paling
parah.Belum sempat Lela menjawab pertanyaan isi hati Qotir, anak tukang siomay
itu sudah tertawa lepas dengan mulut menganga yang didalamnya terdapat sekitar
dua puluh gigi yang letaknya tidak beraturan. Setelah kelas cukup lama sunyi
akibat insiden langka tersebut, beberapa menit kemudian seisi kelas bersorak dan berteriak. Salah seorang murid ada yang
melemparkan buku mereka ke atas, ada juga yang menaiki meja sambil bereteriak “Amazing Qotir, Capucinno buatanmu, Numero Uno” . Entah
aksen apa yang dipakai oleh anak
tersebut tetapi kini
Qotir puas dan lega, sekarang ia tinggal menikmati hasil jerih payahnya.
Memang hubungan
Qotir dan Lela tidak selalu berjalan dengan apa yang mereka berdua harapkan
-terutama bagi Lela yang menganggap Qotir sebagai pria yang berbeda dari yang
lainnya-, ada saja gunjingan dari pihak sana sini, terutama gunjingan soal Lela
yang notabennya selalu diinginkan setiap laki-laki. Bahkan ada suatu sindiran ketika
mereka sedang berjalan pagi mengelilingi Komplek Senayan
“eh coy ada cewe
cakep tuh!” kata orang pertama dengan mata yang terpaku melihat Lela
“iye cakep, tapi
sayang ada monyetnya!”
Dengan spontan
Qotir menengok kebelakang dan menghampiri dua orang tersebut sambil memberinya
pelajaran dengan tangan kanannya yang mengepal penuh amarah.Keributan tidak
bisa dihindari.Tapi sayang, Qotir kurang beruntung dalam keributan itu. Lela
sebagai pacarnya, menenangkan Qotir dengan memberinya wejangan-wejangan, tapi
wejangan yang diberikan kepadanya, menurut Qotir sangat menggurui. Ini yang
tidak disukai oleh Qotir, Qotir sontak melepaskan kata-kata yang lebih dari
menggurui kepada Lela. Di sinilah awal mula krisis-krisis akan perpecahan itu
terjadi. Lela yang sangat amat mencintai Qotir hanya bisa diam, ia tidak mau
menyeret dirinya kedalam kubangan yang akan membuat hubungan mereka pecah. Tidak
hanya di tempat umum, di lingkungan sekolah pun, kedua pasangan ini selalu
dihantui gosip yang bergentayangan, anehnya gosip itu selalu menggentayangi
Lela, bukan Qotir.Wajah Lela yang masih cantik meski sudah mempunyai pacar
dengan wajah biasa saja, membuat para laki-laki di SMAN Baru Jakarta, sekarang berlomba-lomba
menjatuhkan Qotir demi memperbaiki citra Lela sebagai perempuan.
Kegeraman Qotir
hampir mencapai puncaknya, tapi ia tidak mau melepaskan Lela begitu saja,
tetapi ia juga tidak mau nama baiknya diinjak-injak hanya karena ia berhubungan
dengan Lela. Lela yang mendengar gosip itu, tidak peduli, rasa sayangnya masih
sepenuhnya kepada Qotir meski Qotir selalu menuduhnya dengan asumsi yang tak masuk
akal. Sekarang Qotir hanya sibuk dengan keapatisannya
sendiri. Hubungan mereka kini mulai diuji oleh Tuhan, atau oleh Syaitan. Dulu
-seminggu sekali- Qotir selalu mengajak Lela melakukan aktivitas bersama-sama. Baik
itu diskusi, belajar bersama, atau hanya sekedar nongkrong meminum secangkir
kopi. Tetapi kini aktivitas itu hanya menjadi sebuah cerita yang tidak pantas
lagi untuk di ceritakan. Qotir hanya sibuk dengan kesibukannya.Sifat cuek, easy going, dan apatisnya, membawanya jauh
kedalam jurang keambiguan.
Dua Tahun
menjalin hubungan bukan hal yang mudah , terutama bagi Qotir dan Lela. Sekarang
mereka berdua telah lulus dari SMA. Seperti
murid-murid lainnya,
Qotir dan Lela saling berjabat tangan sambil bertukar pandang. Pandangan yang
menurut Lela telah menyejukkan hatinya kembali setelah hampir 12 bulan tersesat
dalam pencarian jati diri Qotir, pasangannya. Pandangan yang juga telah
menghangatkan badan Qotir setelah sekian lama membeku dalam keapatisannya.
Ujian yang sesungguhnya akan terjadi di sini. Ketika Lela merencanakan kuliah
di luar Kota, tepatnya di Universitas Brawijaya, sedangkan Qotir yang lebih
memilih kuliah di Jakarta, tepatnya di Universitas Negeri Jakarta. Mereka
berdua seakan mengibarkan bendera perang kembali. Walaupun Lela berjanji bahwa
ia akan pulang ke Jakarta pada akhir Desember tetapi percecokan diantara
keduanya kini benar-benar tidak dapat di hindari. Jalan keluar
akhirnya sudah diambil. Musyawarah mufakat
telah disepakati. Lela senang akan keputusan Qotir yang terus melanjutkan
hubungan mereka -meskipun hubungan jarak jauh. Lela langsung memeluk Qotir
dengan erat. Qotir tidak bisa berkata apa-apa.Mulutnya seakan tertutup rapat di
retsletingi oleh bibirnya sendiri. Bisa dibilang ironis, karena ini pertama
kalinya mereka berpelukan selama 2 tahun berpacaran. Qotir segera melepaskan badannya
dari pelukan hangat Lela. Mereka berdua telah berjanji akan terus
mempertahankan hubungan ini, meskipun Qotir masih berat menerimanya. Sangat
Berat.
Suara motor
Satria F melaju kencang dari arah Universitas Islam Negeri Jakarta menuju Bogor. Angin
malam ikut melaju dengan membawa hawa dingin yang seakan menusuk kedalam tubuh hingga ke hati pengendara motor yang berjaket kulit
tersebut. Mobil ambulan dari arah berlawanan meluncur cepat dengan suara
sirenenya yang tiada henti, mencoba memberitahu pengendara lain bahwa akan ada
satu nyawa lagi yang akan melayang didalam
mobil itu.Dari dimensi lain, malaikat pencabut nyawa membututi dari belakang mobil ambulan, dengan jubah
serba hitam dan membawa tongkat, ia siap
melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya. Sementara itu, pemuda yang
membawa motor Satria F menambah kecepatan laju motornya, suasana sepi kota
Pamulang membawanya ke dalam lembah kesendirian menuju kota hujan, Bogor. Dari
dalam helm, raut wajah terlihat abstrak, marah, sedih, gelisah, bimbang, dan
rindu melanda dan menerpa wajah pemuda yang semakin menambah laju kecepatan
motornya.Sebelum berangkat, ternyata ia dalam keadaan hampir meledak, kepalanya
makin mengeras, tanganya mengepal tinju yang siap menghantam apa saja yang ada
di depannya. Kekasihnya yang berada di kota apel, Malang, ternyata sudah lupa
akan dirinya. Pesan, telepon, tidak pernah di jawabnya walau hanya satu kata.Ia
berasumsi bahwa kekasih jarak jauhnya kini telah asyik bersama pria lain yang
lebih mapan, tampan, dan intelek
daripada dirinya. Asumsi dari dirinya sendiri itu makin membuatnya geram
bercampur kangen.Geram ingin memukuli pria itu jika benar adanya, kangen ingin
memeluk kekasihnya yang telah lama jauh dari dirinya. Suara motor melaju makin
kencang, keramaian mulai terlihat di depan, tetapi hatinya masih sepi
sunyi. Suara hanphone berbunyi dibarengi
dengan getaran, ia kaget, sangat kaget, roda motornya
yang masih melaju kencang tidak mampu menahan rem yang telah ia tekan dengan
jemari tangan kanannya. Ban depan motornya berdecit, mengeluarkan sedikit bunyi
bahwa pertanda buruk akan terjadi, sedangkan ban belakang masih memutar
kencang. GUBRAKKKKK!. Pemuda itu terhempas ke tanah dengan helm yang
terlepas jauh dari kepalanya. Belum
sempat ia berteriak kesakitan, ia langsung tersungkur. Ia tak sadarkan diri
selama beberapa saat. Kemudian, dengan sisa tenaganya, ia langsung mengambil
handphone dari saku jaketnya. Matanya yang sipit akibat berbenturan dengan
aspal jalan masih melihat-lihat kearah layar handphonenya. Satu pesan dari seseorang
bernama Lela. ”Tir, aku sekarang udah di
Jakarta, kebetulan sekarang aku mau maen kerumah kamu. Mau curhat banyak tir.
Boleh ya?”. Pemuda itu kemudian menaruh handphonenya ke dalam sakunya kembali,
pesannya tidak ia balas. Selang beberapa menit, keramaian dan mobil ambulan datang menolong
pemuda malang yang hampir tidak terselematkan itu. Roda ambulan melaju pelan dibarengi
dengan sirene yang akan segera berbunyi pertanda bahwa akan ada satu nyawa lagi
yang tidak akan terselamatkan. Di dalam ambulan, pemuda itu berbaring dan
melihat samar-samar kekasihnya yang bernama Lela duduk disampingnya didampingi
pria asing berjubah hitam. Mobil ambulan pun pergi meninggalkan tempat
dibarengi khalayak yang masih ramai memperbincangkan kronologi kejadian itu.
Beberapa saat, Malam kota Pamulang kembali sunyi.